Rabu, 06 Desember 2017

Maqom-maqom dalam Tasawuf

MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF

A.   Pengertian Maqam dalam Tasawuf
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki.  Menurut terminology, istilah maqam mengandung pengerrtian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkkan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Imam Al-Qusairi, yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan bermacam-macam upaya yang diwujudkan dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas. Masing-masing berbeda dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah  menuju kepada-Nya.[1]
Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, maqam-maqam dapat diketahui  berdasarkan tanda-tanda, symbol-simbol dan amalannya. Oleh karena itu, keberhasilan menjalani maqamat merupakan penilaian yang berasal dari Allah, sekaligus mencerminkan kedudukan seorang salik dalam pandangan-Nya.
Menurut Evelyn Underhill, jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh seorang salik menuju jalan Allah. Langkah-langkah dalam proses itu adalah[2]
1.      Bangkitnya kesadaran (awakening)
2.      Pembersihan (purification)
3.      Penerangan (illumination)
4.      Malam gelap jiwa (the dark night state)
5.      Kesadaran bersatu (the unitive state)
Maqam-maqam itu harus dilalui oleh seorang salik secara bertahap. Menurut seoranf arif, mencapa suatu maqam tanpa melalui maqam sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Sesuatu yang menyulitkan adalah bahwa sufi berbeda dalam mengonstruksi urutan-urutan maqam dalam tasawuf. Namun, hal ini akan dijembatani oleh syaikh untuk memberikan petunjuk kepada murid.
Al-Ghazali memberikan urutan maqam seperti berikut : taubat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridha, iikhlas, muhasabah, dan muraqabah.
Sementara itu, As-Suhrawardi dalam bukunya Al-‘Awarif Al-Ma’arif merumuskan maqam sebagai berikut: taubat, wara’, zuhud, sabar, fakir, syukur, khaouf, tawakkal dan ridha.
Menurut Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, menyebutkan enam puluh maqam dan berusaha menjelaskan secara rinci, tetapi tidak begitu mempedulikan sistematika maqam tersebut. Dalam menempuh itu, sufi atau calon sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan kontemplasi yang sesuai dengan ajaran agama.
Maqam pertama yang harus ditempuh oleh sufi atau calon sufi adalah taubat. Setelah itu, ia akan menempuh beberapa maqam yang lain, yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menyingkir diri dari masyarakat), takwa, wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhud, sahar ( berjaga pada malam hari), khaouf (takut dan cemas) dan raja’ (harap).[3]

B.     Maqam-Maqam Dalam Tasawuf
1.      Taubat
Taubat secara etimologi adalah kembali, meminta pengampunan. Dalam perspektif sufistik, taubat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama. Taubat adalah kembali menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti penyesalan.[4]
Taubat merupakan tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah asal semua maqam dan dasrnya, sebagai pembuka setiap hal. Taubat adalah permulaan dari maqamat. Taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.
Taubat terdiri dari tiga komponen yaitu :[5]
1.      Ilmu
2.      Hal (kondisi)
3.      Amal Perbuatan
Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa. Dosa dapat menjadi hijab (penghalang) antara seorang hamba dan penciptanya yang dicintai. Apabila seseorang telah mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul rasa sedih ketika sesuatu yang dicintainya hilang dari dirinya.
Semua harus diawali dengan ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Iman adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqin adalah meyakinkan apa yang dipercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadi hijab (penghalang) antara ia dan Allah Zat yang sangat dicintainya.
Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang membuatnya menyesal.
Rasulullah SAW bersabda, “ Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Maajah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah mencairkan apa yang ada di dalam hati karena kesalahan yang pernah dilakukan, hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.
Dikatakan pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”
Taubat adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.
Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Hal itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam dan makan-makanan yang halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal perbuatan).[6]
Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama sangat banyak sekali, akan tetapi dengan mengerti tiga makana taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup seluruh definisi yang diberikan para ulama. Sesungguhya mengetahui hakikat permasalahan lebih penting daripada mengetahui definisi-definisi secara tekstual.
Allah Ta’ala telah memerintahkan agar bertaubat dalam firman-Nya,[7]
“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nuur : 31)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya).” (At-Tahrim :8)
Sedangkan Nabi SAW bersabda,
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian semua kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali.” (Diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim).
  Taubat selamanya wajib hukumnya. Manusia tidak lepas dari kemaksiatan. Sekalipun lepas dari kemaksiatan anggota badan, namun tidak lepas dari keinginan melakukan dosa didalam hatinya. Jika dia lepas dari semua itu, namun dia tidak akan lepas dari bisikan syetan yang memunculkan berbagai macam yang timbul di hati yang terpisah-pisah dan menjauhkan orang dari dzikir kepada Allah Ta’ala. Jika dia lepas dari itu namun tidak lepas dari kelalaian dan keterbatasan ilmu tentang Allah Ta’ala dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu adalah kekurangan dan setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan ini. Akan tetapi setiap manusia bertingkat-tingkat kemampuannya dan prinsip dalam semua itu harus memilikinya.[8]

ü  Kesempurnaan taubat dan syarat-syaratnya
Diantara syarat-syarat taubat yang benar adalah azam (kemauan yang keras) untuk tidak mengulangi dosa-dosa itu d masa yang akan datang, tidak juga mengulangi dosa yang semacamnya. Dia harus berazam yang demikian dengan sekuat-kuatnya. Perumpamaan yang demikian itu adalah seperti orang sakit yang mengetahui bahwa buah-buahan berbahaya ketika ia sedang sakit, lalu dia berazam sangat kuat untuk tidak memakannya sedikit pun dari jenis buah-buahan selama dia masih dalam keadaan sakit.[9]
Telah disebutkan bahwa orang yang bertaubat dia harus melakukan berbagai amal yang berlawanan dengan kejahatan apa dilakukannya agar menghapus dan mengkaffarahnya. Amal-amal kebaikan yang menghapus adalah dengan hati dan lisan serta anggota badan sesuai dengan jenis kejahatannya. Apa-apa yang dengan hati seperti merengek dan merendahkan diri. Sedangkan dengan lisan adalah pengakuan akan kezhaliman yang ia lakukan dan istigfar. Seperti mengucapkan, “Wahai Rabbku, aku telah berbuat zhalim maka ampunilah aku.”
Tanda tobat itu sendiri adalah adanya penyesalan, kesedihan, meneteskan air mata banayk menangis dan bertafakkur, sedangkan syarat diterimanya taubat atas kemaksiatan yang telah dilakukan pada masa lalu (madhi) adalah mengingat apa yang telah dilakukan sejak ia baligh atau ketika pertama kali mimpi junub, seperti ibadah-ibadah yang telah ditinggalkan pada tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, waktu demi waktu. Selain itu juga meninggalkan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan tidak sempurna. Kemudian mengingat kemaksiatan-kemaksiatan yang pernah dilakukan .
Contoh:
Apabila ia meninggalkan sholat atau mengerjakan sholat dengan memakai pakaian yang najis atau mengerjakan sholat dengan niat yang tidak benar karena kebodohan akan syarat-syarat niat, maka ia harus mengqadha sholatnya. Sekiranya ia ragu dengan jumlah sholat yang telah ditinggalkan, maka hitunglah jumlah sholat mulai ia baligh, dengan dipotong beberapa waktu yang benar-benar diyakininya telah ia kerjakan. Ia harus menghitung sholat-sholat yang telah ditinggalkan sesuai dengan prasangka yang kuat.
Apabila meninggalkan puasa, baik meninggalkan puasa karena dalam perjalanan dan ia belum membayarnya (qadha) atau ia berbuka puasa dengan sengaja, atau ia lupa niat pada malam harinya, maka ia harus mengqadhanya, yaitu dengan cara menghitung hari-hari yang ia tidak berpuasa.
2.      Zuhud
Zuhud atau asketisme secara etimologi berasal dari kata zahada, artinya raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu). Secara terminology, zuhud ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.[10] Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual, namun tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan. Sebab asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-sebab sekunder inilah manusia mendapatkan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahawa secara terminologi zuhud tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf dartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dan Tuhan sebagai perwujudan ihsan maka zuhud merupakan suatu maqam menuju tercapainya perjumpaan atau ma’rifat kepadanya.
Zuhud adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya kesenangan akan sesuatu karena menginginkan yang lebih baik dari itu.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilakn dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Menurut imam Al-Ghazali, ciri-ciri zuhud adalah :[11]
1.      Tidak senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu (zuhud dalam harta). Allah berfirman, “…..Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu….”(al-hadid : 23).
2.      Menganggap sama antara pujian dan celaan (zuhud dalam kedudukan).
3.      Hatinya dipenuhi  dengan kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada Allah. Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas di hati. Apabila air dimasukkan ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila ditiupkan udara, air akan keluar. Air dan udara tidak mungkin dapat disatukan.
Ahli ma’rifah berkata, “ Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya, maka ia akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi, apabila iman telah masuk ke lubuk hatinya, maka ia akan membenci dunia.”
Abu Sulaiman berkata “ Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia tidak akan disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak disibukkan dengan dirinya sendiri. Ini merupakn maqam ma’rifah (‘arifiin). Orang yang zuhud harus memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang pertama (‘amiliin) akan menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta menjadikan orang tidak mempunyai sifat zuhud.”
Jadi, ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau kaya, mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya dengan Allah.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifad zuhud adalah dermawan atas apa yang dimiliki.”[12]
Ibnu Khalif berkata, “ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika sesuatu miliknya. Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad bin Hanbal dan sufyan ats-Tsauri berkata, “Ciri-ciri zuhud adalah tidak panjang angan-angan.”
3.      Faqr (Fakir)
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah.[13]
Dalam term sufi pengertian fakir menunjukkan kepada seseorang yang telah mencapai akhir “lorong spiritual”. Menurut Ibnu Qudamah bahwa semu orang itu fakir, karena mereka membutuhkan kepada kemurahan Tuhan.
Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Dia.
Menurut Al-Ghazali, fakir dibagi dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :[14]
a.       Fakir secara umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba kepada Tuhannya. Sikap seperti ini hukumnya wajib karena menjadi sebagian iman dan sebagai buah dari ma’rifat.
b.      Faqir muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia, seperti uang yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan manusia yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
Sufi tidak melarang seseorang yang fakir untuk menerima pemberian dan bantuan orang lain, baik yang berupa fasilitas maupun materi. Jadi pada dasarnya berusaha meninggalkan syubhat dan hanya mencari yang halal. Jika maqam fakir telah sampai pada puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka maqam itu merupakan perwujudan penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain-Nya.
4.      Syukur
Syukur secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut terminologi tasawuf, syukur ialah menggunakan nikamat Allah untuk taat dan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat kepada-Nya[15]. Orang yang menggabungkan sabar dengan syukur adalah orang yang memiliki hikmah.
Syukur merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-satunya pemberi nikmat adalah Allah dan cakupan rahmat-Nya sangat luas. Keutamaan syukur mengungguli peringkat lainnya dalam maqamat bahwa taubat, zuhud dan sabar tidak berlaku lagi di akhirat. Orang tidak memerlukannya lagi di syurga, tetapi bersyukur tetap dilakukan.
Bersyukur itu terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya bersyukur dengan lisan, maksudnya ialah mengakui segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. kepada hamba-Nya dengan sikap merendahkan diri. bersyukur dengan badan, yakni Bersikap selalu sepakat serta melayani (mengabdi) kepada Allah SWT. bersyukur dengan hati, yaitu : Mengasingkan diri di hadapan Allah SWT. dengan cara konsisten menjaga akan keagungan Allah SWT.
Bersyukurnya orang dengan lisan itu biasanya adalah syukur yang berilmu. Sedangkan syukur dengan badan itu biasanya adalah orang yang beribadah, kenyataan ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Akan tetapi syukur dengan hati adalah syukurnya orang yang ahli ma'rifat, dan ini dapatlah direalisasikan dengan cara ihwal secara konsisten. 
Manusia pada umumnya adalah mempunyai sifat lalai dan tidak menyadari bahwa nilai suatu nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Maka dia baru terasa apabila nikmat itu dicabut dari dirinya, maka dia barulah merasakan dan menyadarinya, contohnya adalah nikmat berupa kesehatan jasmani dan juga kesehatan rohani dan sebagaimana dalam hal ini Allah telah berfirman mengenai hidup. Kehidupan di dalam surat An-Naml ayat 40 yang artinya: 
Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". 

5.      Sabar
Sabar menurut terminologi bahasa, artinya menahan dan mencegah diri. Allah telah berfirman :
“Dan sabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhanya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan (wajah)-Nya”. (Qs. ALKhafi;28)
Sikap sabar dibutuhkan seorang pencari jalan untuk mendapatkan apa yang berada disisi Allah. Sikap sabar yang sesungguhnya adalah pada saat memperoleh cobaan yang pertama. Bagi Al-Jailani, dunia ini penuh dengan penderitaan dan musibah, tidak ada satu kenikmatan pun, kecuali di didalamnya ada bencana, tidak ada satupun kegembiraan, kecuali disertai kekhawatiran, dan tidak ada satupun keluasan kecuali bersamanya ada kesempitan ( al-Fath al –Rabbany, hal. 29). Maka, wajar jika kedudukan sabar dalam Al-Quran disamakan dengan kedudukan shalat oleh allah, hanya mereka yang “khusyuk” yang dijamain allah dapat melampaui ujian kesabaran dan shalat tersebut.
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Qs. AL-Baqarah;45)
Menurut Al-Jailani, kesabaran merupakan salah satu penghapus hijab antara hamba dan Tuhanya. Al-Jailani menuturkan bahwa hal-hal yang dapat menghilangkan penghalang tersebut, antara lain yang terpenting adalah menjauhi segala kemaksiatan, bersabar saat datang kesulitan, ridha kertika datang ketentuan dan takdir, serta bersyukur ketika datang kenikmatan ( al-Fath al –Rabbany, hal. 193). Barang siapa tidak punya kesabaran maka tiada sarana yang dapat menolongnya. Allah menggantungkan pertolongan dengan kesabaran dan ketakwaan.
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda .” (Qs. Ali Imran:125)
Terkait dengan berbagai penjelasan tentang pentingnya kesabaran dalam dalam mengelola nafsu atau jiwa untuk berjalan menuju Allah maka dalam Al-Quran disebutkan berbagai jenis kesabaran yang utama, diantaranya :
a)      Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia
“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Qs.Al-Balad:4)
b)      Sabar untuk tidak memperturutkan kemauan yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sehubungan dengan hal ini, Allah Swt. Telah berfirman
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengigat Allah. Barang siapa yang mengerjakan hal tersebut maka sungguh mereka itu termasuk golongan orang yang merugi .” (Qs. Al-Munaafiquun :9)
c)      Tetap bersabar, tidak pernah melirik pada kesenangan yang dimiliki oleh orang lain dan tidak terpedaya oleh harta serta anak-anak yang dimiliki oleh mereka
d)     Sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah. Hal ini merupakan jenis sabar yang paling besar dan yang paling berat dirasakan oleh jiwa manusia.
e)      Sabar dalam menanggu derita menyeru manusia kejalan Allah Swt. Karena sesungguhnya tidak samar lagi dari setiap keadaan yang dialami manusia pada masa sekarang, kini mereka mulai menjauh dari agama. Keadaan seperti ini jelas menuntut terselenggaranya dakwah yang besar, protes yang keras terhadap segala bentuk kemungkaran, dan usaha yang giat tak kenal lelah untuk menegakkan kebenaran.
f)       Sesungguhnya disana terdapat jenis kesabaran yang sangat diperlukan pada saat yang menegang, saat dalam peperangan, saat berhadapan dengan musuh, dan saat bertarungnya dua barisan dalam kacah peperangan, saat menghadapi orang-orang yang melawan Allah maka sabar merupakan syarat utama untuk meraih kemenangan dan lari dari medan perang adalah dosa besar. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti tersebut Allah Swt. Mewajibkan untuk teguh dan pantang mundur.[16]
Dikalangan para sufi, sabar diartikan antara lain dengan hanyut (fana’) dalam bencana tanpa keluhan. Secara rinci Abu Nasr as-Sarraj (w.988 M) menjelaskan sabar adalah konsisten dalam menjauhi larangan dan memegang perintah dan orag yang sabar adalah yang hanyut (fana’)bersama allah tanpa protes ataupun mengeluh. Jadi sabar sebagai maqam, lebih diarahkan pada upaya menahan segala rintangan dalam parjalanan menuju allah, karena lebih bersifat intuitif dantransendental.
Sabar dalam a’mal al-qulub dimaknai sebagai sikap istiqamah atau konsisten dalam melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan allah. Menerima segala musibah dan mampu menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang allah. Kecuali itu disebutkan pula bahwa sabar mempunyai tingkatan berdasarkan ada tidaknya ruang gerak kebebasan dan ikhtiar manusia. Sabar menjauhi maksiat lebih tinggi derajatnya daripada sabar menanggung musibah. Sebab yang pertama mengandung unsur ikhtiar dan kebebasan. Sedang yang kedua tidak demikian karena suatu musibah jelas diluar ikhtiar dan pilihan manusia. Tingkat sabar pertama adalah dimiliki oleh para wali allah. Dengan demikian sabar dalam a’mal al-qulublebih rasional dan lebih empirik dan kontekstual.[17]
Ø  Ada beberapa definisi sabar :
·         Sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik disenangi maupun dibenci (Abu Zakaria Ansari)
·         Menerima yang terjadi, disebut syukur, menerima yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, namanya sabar, menerima sesuatu yang akan datang, namanya ridlo
·         Sabar adalah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu (asmaran)
·         Sabar adalah kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu (Al Ghazali).[18]
Ø  Pembagian sabar
Ada ulama yang membagi sabar menjadi tiga:
a.       Sabar dalam musibah, yaitu kerelaan menerima kehendak Allah yang pada awalnya terasa tidak nyaman, seperti sakit, kurangnya harta, ketakutan, kelaparan, bencana alam, dsb.
b.      Sabar dalam ibadah, kerelaan melakukan kehendak Allah yang wujud dalam perintah-perintah-Nya.
c.       Sabar dalam maksiat. [19]
Tiga bentuk kesabaran itu memiliki tingkatan derajat kebaikan sebagaiman urutan dari a-c. Sabar yang paling berat dan tinggi derajatnya adalah sabar dalam maksiat, sedang yang paling ringan adalah sabar dalam musibah. Sabar terhadap musibah sesungguhnya terasa ringan mengigat banyak orang yang peduli kepada kita, berusaha menolong kita, membantu melepaskan kita dari musibah. Tetapi berbeda dengan seseorang yang sedang memerankan diri sebagai pelaku kemaksiatan. Terkadang diri kita menyadari bahwa yang kita lakukan melanggar norma agama atau masyarakat. Namun kita seakan berulang kali ditarik untuk kembali melakukanya. Lebih berat lagi kenyataan yang menyakitkan datang dari lingkungan kita.[20]
6.      Ridho
Ridha adalah kesukarelaan atas apa yang menjadi ketentuan Allah bagi dirinya, dalam segala hal, yang disertai dengan kesadaraan akan kekuasaan Allah dalam apa yang terjadi dan berlaku bagi dirinya. Ridha yang dikuatkan oleh nash ialah ridha dengan Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama,dan ridha dengan Muhammad Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, mewajibkan apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa yang dibolehkan-Nya. Ridha kepada Allah Swt ialah ridha dengan qadha dan qadar-Nya, serta memuji-Nya dalam semua keadaan dan meyakini bahwa hal tersebut mengandung hikmah belaka  meskipun hal yang ditakdirkan oleh-Nya menyakitkan.
Ridha kepada Allah sebagai Tuhan, ridha kepada Rasul Saw sebagai anutan dengan penuh kepatuhan dan kepasrahan diri. Oleh karena itu, barang siapa dapat merealisasikan dalam dirinya ketiga perkara, yaitu ridha kepada Allah sebagai Tuhan dan sesembahan, ridha kepada Rasul sebagai anutan dengan penuh ketaatan, ridha kepada agama-Nya dengan penuh kepasrahan maka dia adalah orang yang benar-benar siddiq. Hal ini memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit pelaksanaanya.[21]
Menurut al-Junaidi (W. 910 M), arti ridha adalah meninggalkan usaha (raf’u al-ikhtiyar). Sedangkan Dzu al- Nun al-Misri (W.859 M) menjelaskan bahwa ridha adalah menerima ketentuan dengan kerelaan hati. Selanjutnya dia menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah 1) usaha sebelum terjadi ketentuan, 2) lenyaplah resah gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan 3) cinta yang bergelora disaat terjadi mala petaka.
Pengertian ridha diatas merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal, sehingga melahirkan sikap mental senang dan tenang menerima segala situasi dan kondisi. setiap yang terjadi disambut dengan hati yang terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun berupa bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira sebab diyakini apapun yang datang adalah ketentuan dari Allah. Para sufi berbeda tentang posisi ridha sebagian mereka menempatkannya sebagai maqam terakhir dari perjalanan sufi, karena dipandang merupakan akumulasi dari maqam-maqam sebelumya. Tetapi sebagian sufi yang lain mengatakan bahwa setelah maqam ridha masih terdapat maqam-maqam berikutnya seperti mahabbah, fana’, ma’rifah, ittihad dan seterusnya.
Berbeda dengan pandangan diatas, Ibn Taimiyyah memandang ridha sebagai moralitas islam yang harus dilakukan setip muslim. Karena itu dia memandang ridha sebagai amalan batin yang integral dengan sifat-sifat lainnya. Berangkat dari pandangan ini dia memberi makna ridha yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Misalnya jika dikaitkan dengan sabar, maka ridha merupakan sabar yang terbaik. Sebab hakikat ridha adalah sabar dengan tanpa protes dan mengeluh. Jika dihubungkan dengan tawakal maka keduanya dapat memelihara takdir allah secara benar. Tawakal diposisikan sebelum terjadinya takdir, sedangkan ridha diposisikan sesudah terjadinya takdir. Jika dikaitkan dengan mahabbah maka ridha merupakan bagian dari mahabbah. Dengan demikian, ridha dalam konsep a’mal al-qulubmerupakan pengendali batin yang bersifat dinamis dan empiris tidak sebagaimana ridha dalam konsep maqamat yang bersifat pasif dan fatalis.
Dalam uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, terdapat perbedaan aspek aksiologi dalam pemikiran tasawuf pada umumnya. Perbedaan itu terletak pada pengetahuan tasawuf dan pengamalanya diorientasikan untuk menghayati eksistensi tuhan, sementara pada pemikiran tasawuf Ibn Taimiyyah diorientasikan pada tujuan menghayati dan mengamalkan perintah-perintah Tuhan. Maka dari itu, meski dalam konsepmaqamat dan   a’mal al-qulub menggunakan term-term yang sama, namun keduanya memiliki kandungan dan implementasi yang berbeda.[22]
Syekh AL-Jailani menyebutkan tahapan-tahapan agar dapat bersifat ridha kepada Allah sebagai berikut (Futuh al-Ghaib,majlis no. 53):
a.       Tidak mengharap dan mengingat apa yang sudah ditentukan bagi dirinya saja atau apa yang tidak ditentukan. Sebab, hukuman yang paling berat adalah berussa mendapatkan apa yang tidak ditakdirkan baginya
b.      Hendaklah dia mementingkan Allah diatas dunia sehingga jika ada pemberian maka itu bukanlah karena ketamakan diri, bukan menyekutukan penyembahanya karena keterlenaan diri.
c.       Dalam menyembah-Nya, janganlah menghendaki balasan-Nya karena jika hal itu yang terjadi maka ibadahnya berarti tidak ikhlas.
d.      Orang yang ikhlas ialah menyembah Allah karena ketuhanan-Nya dan karena memang hanya dia memiliki hak untuk itu.
e.       Karena semua pemberian adalah karunia-Nya maka sikap yang pantas adalah selalu bersyukur kepada-Nya dan bukan meminta imbalan atau balasan karena melakukan ibadah atau penyembahan.
Ridha ditinjau dari penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat kasbiy (dapat diupayakan) namun jika ditinjau dari segi hakikatnya maka ridha bersifat mauhibiy (karunia Tuhan). Sesungguhnya, ridha adalah kesudahan dari tawakal. Bila tawakal tidak mampu merealisasikan yang didambakan maka barulah datang ridha. Orang yang memantabkan langkah kakinya dengan kokoh dijalan tawakal, niscaya akan meraih ridha. Karena sesungguhnya, sesudah tawakal, pasrah, dan berserah diri, barulah ridha bisa didapatkan. Sebaliknya, tanpa melalui proses tersebut, ridha tidak akan didapatkan.
Ridha mempunyai beberapa kedudukan, antara lain:
a.       Ridha dengan rezeki yang telah diberikan dan dibagikan oleh Allah. Ridha jenis ini bisa jadi ada sebagian orang awam yang dapat melakukannya dengan baik.
b.      Tingkatan ridha yang lebih tinggi ialah ridha dengan apa yang telah ditakdirkan dan ditetapkan oleh Allah Swt.
c.       Adapun yang lebih tinggi daripada kesemuanya ialah ridha dengan Allah sebagai dari segala sesuatu yang selain-Nya.
Kedudukn ini adakalanya sebagaian orang hanya ampu meraih salah satunya, tetapi tidak mampu meraih kedudukan lainya. Ada kalanya pula sebagian dari mereka hanya mampu mendatangkan sebagian dari satu tingkatan tanpa bisa merealisasikan sepenuhnya.
Jadi,intinya adalah ridha merupakan sikap menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan serta kenikmatan (Simuh, 1998:69), yang dalam bahasa Al-Ghazali disebut sebagai sikap menerima apa adanya (Imam Al-Ghazali, ihya’ ‘ulum al-Din: IV, 337) .[23]
7.      Tawakkal
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada allah setelah seseorang membuat rencana dan melakukan usaha atau ikhtiar. Akan tetapi, dikalangan sufi pengertian tawakal dipahami lebih mendalam lagi. Misalnya al-Syibli (w.945 M) mengatakan, tawakkal adalah hendaknya engkau merasa tidak ada dihadapan Allah dan Allah senantiasa dihadapan kamu. Hal ini berarti bahwa dalam segala hal baik sikap maupun perbuatan seseorang harus menerimanya secara tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pinta atau usahanya tetapi semua diyakini dari Allah semata. Jelasnya harus menyerah secara bulat kepada kuasa-Nya dan jangan meminta, menolak ataupun menduga-duga. Karena nasib apapun yang diterima pada hakikatnya adalah karunia dari Allah. Berkenaan dengan hal ini seseorang sufi Abu-Nasr as-Sarrj (W. 896 M) mengatakan bahwa permulaan maqam tawakal adalah kesadaran seorang hamba dihadapan Allah laksana mayat ditangan orang yang memandikan, dibolak balik kehendaknya tanpa bergerak, protes maupun melakukan tindakan apapun. Kesimpulnya tawakkal sebagai maqam sufi bersifat fatalis, individualis, dan ahistoris.
Pandangan diatas berbeda dengan konsep tawakal dalama’mal al-qulub yang memberikan ruang gerak secara ikhtiyar kepada manusia, meskipun bersama dengan itu manusia harus menyadari akan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Ibn Taimiyyah menolak tawakal dengan pengertian menyerah total, sebab sikap ini pada giliranya akan mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan sebaliknya justru mengerjakan perbuatan yang dilarang serta menghilangkan perbedaan antara hal-hal yang memang harus berbeda. Sebab baik dalam Al-Quran maupun Hadis melarang seseorang meninggalkan perbuatan yang diperintahkan karena percaya kepada takdir dan memerintahkan agar melakukan perbuatan-perbuatan yang manfaat. Dengan demikian, pandangan tawakal ini mengandung makna aktif dan dinamisyang berbeda dengan makna tawakal dalam maqam sufi yang bersifat pasif dan fatalis.[24]
Sementara menurut Al Quran, seruan kepada manusia untuk bertawakal kepada Allah dikaitkan dengan berbagai nilai keagamaan dan kehidupan ( Madjid, 1992:47-48), yaitu:
a.       Tawakal dikaitkan dengan sikap keimanan kepada Allah (Qs.Al-Maidah:23) dan sikap pasrah kepada-Nya (Qs.Yunus:84)
b.      Tawakal kepada Allah diperlukan setiap kali sehabis mengambil keputusan penting (khususnya keputusan yang menyangkut orang banyak melalui musyawarah) guna memperoleh keteguhan hati dan ketabahan dalam melaksakannya, serta tidak mudah mengubah keputusan itu (Qs. Ali Imran:159)
c.       Tawakal juga dilakukan agar keteguhan jiwa menghadapi lawan dan agar perhatian kepada usaha untuk  menegakkan kebenaran tidak terpecah karena adanya lawwan itu, dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang akan melindungi dan menjaga kita (Qs. An –Nisaa’:81)
Seorang muslim memandang tawakal kepada Allah dalam semua pekerjaanya bukan sebagai kewajiban semata, melaikan juga fardu agama yang tidak hanya berkaitan dengan urusan agama, tetapi juga urusan duniawi termasuk didalamnya. Dengan kata lain, tawakal tidak hanya berkaitan dengan urusan duniawi dan mencari rezeki semata, tetapi diharuskan pula dalam masalah beribadah  kepada Allah.
Dengan demikian, tawakal bagi seorang muslim merupakan bagian dari akidah.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS.Al-Maa’idah:23) 
Melalui tawakal maka seseorang akan memperoleh berbagai manfaat :
a)      Berkat tawakal kemenangan atas musuh dapat diraih.
b)      Mendatangkan kemaslahatan, menolak mara bahaya dan berbagai macam musibah, serta mendatangkan rezeki dan mneyegarkan kesembuhan
c)      Tawakal kepada Allah menjadi penyebab bagi kuatnya hati dan kebangkitan semangatnya.
d)     Menangkal keterpurukan psikologi dan ketegangan syaraf.
Dari berbgai hikmah tersebut, jelas bahwa tawakal merupakan bagian tidak terpisahkan dari jiwa seseorang yang memperjalankan dirinya menuju Alllah.[25]



[1] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 169
[2] Ibid. hal 169
[3]  Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 170
[4] Ibid Halaman 171
[5] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 414
[6] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 415
[7] Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi. 2010.  Ihya ‘Ulumuddin Imam Al-Ghazali. Bekasi: PT Darul Falah. Hal. 545
[8] Ibid hal 547
[9] ibid hal 565
[10] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 172
[11] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin.Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 351
[12] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin.Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 352
[13] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 172
[14] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 173
[15] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. Halaman 175
[16]Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 298-304
[17] Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya; JP BOOKS), halm 233-234
[18] Sultoni Ahmad, 2007, Sang Maha- Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa, (Salatiga-Jawa Tengah; Stain Salatiga Press), halm 143
[19] Ibid, halm 153
[20] Sultoni Ahmad, 2007, Sang Maha- Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa, (Salatiga-Jawa Tengah; Stain Salatiga Press), halm 154
[21] Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 298-304

[22] Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya; JP BOOKS), halm 235-236

[23] Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 316-318

[24] Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya; JP BOOKS), halm 234-235

[25] Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 286-294


Post ulang Berdasarkan : http://istiwasiaturrohmi.blogspot.co.id/2016/03/maqam-maqam-dalam-tasawuf.html?m=1

0 komentar:

Imam syuhro w | Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all